Wejangan Pembuka: Mari Bicara Tentang Sebuah Kata yang Terluka
Angger, anakku…
Mari kita duduk sejenak. Paman ingin bercerita tentang sebuah kata yang kini terluka, sebuah gelar yang terasing di rumahnya sendiri. Kata itu adalah: Dukun.
Tutup matamu sejenak dan dengarkan kata itu. Apa yang terlintas di benakmu? Mungkin bayangan gelap, asap kemenyan, jampi-jampi, atau hal-hal yang membuat bulu kuduk berdiri. Media dan cerita modern telah melukisnya dengan warna kelam, menjadikannya sinonim dari ilmu hitam.
Meskipun saat ini, jika kita merujuk pada sumber resmi seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna yang tercatat memang sudah terlanjur menyempit. Namun, catatan modern itu tidak menceritakan kisah seutuhnya.
Paman di sini untuk mengatakan: mereka telah merampok makna dari kata itu. Mereka telah mengambil sebuah mahkota kehormatan dan mengubahnya menjadi topeng yang menakutkan.
Hari ini, kita akan merebut kembali mahkota itu bersama-sama. Kita akan menelusuri lorong waktu untuk menemukan makna sejatinya, dan kau akan terkejut saat menyadari, jangan-jangan, api “ke-dukun-an” itu juga menyala di dalam dirimu.
Menggali Akar: Dukun Sebagai Gelar Kehormatan
Sebelum kita melangkah lebih jauh, pahami dulu asal-usulnya. Banyak ahli bahasa percaya, kata “dukun” berakar dari kata “duduk”. Bukan sekadar duduk diam, tapi sebuah posisi yang terhormat. Seseorang yang memiliki ilmu dan kearifan, sehingga orang lain akan datang untuk “duduk” di hadapannya, mendengarkan, dan meminta petunjuk.
Seorang Dukun bukanlah penyihir. Seorang Dukun adalah seorang AHLI. Seorang spesialis. Di masa ketika belum ada universitas atau gelar formal, masyarakat Jawa memberikan gelar “Dukun” sebagai bentuk pengakuan tertinggi atas sebuah keahlian yang mendalam.
Parade Para Ahli Nusantara: Ragam Wajah Sang Dukun
Lupakan gambaran tunggal yang seram. Di masa lalu, “kerajaan” para Dukun sangatlah luas, masing-masing dengan spesialisasinya sendiri yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat:
- Sang Dukun Bayi: Dialah ahli obstetri dan ginekologi pada zamannya. Tangannya yang terampil dan pengetahuannya tentang ramuan pasca-persalinan telah menyambut ribuan tangis pertama bayi ke dunia. Profesinya kini diteruskan oleh para Bidan.
- Sang Dukun Pijat (Urut): Bukan sekadar tukang pijat, ia adalah seorang fisioterapis ulung. Ia memahami setiap jengkal otot, urat, dan sendi. Ia mampu mengembalikan energi dan menyembuhkan keseleo dengan keahlian yang diwariskan turun-temurun.
- Sang Dukun Jampi (Wuwus): Dialah apoteker dan farmakolog kerajaan. Hutan dan kebun adalah laboratoriumnya. Ia meracik empon-empon, akar, dan dedaunan menjadi obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit.
- Sang Dukun Sawah: Seorang ahli agronomi yang visioner. Dengan membaca ‘pranata mangsa’ (kalender musim), ia menasihati kapan waktu terbaik untuk menanam, bagaimana sistem irigasi harus diatur. Ia adalah kunci dari lumbung padi yang terisi penuh.
- Sang Dukun Pandé: Ahli metalurgi yang sakti. Tangannya mampu mengubah bijih besi menjadi keris pusaka, cangkul yang kuat, atau gamelan yang merdu suaranya. Ia adalah insinyur material pada masanya.
- Sang Dukun Trawang & Petangan: Nah, inilah salah satu cabang yang sering disalahpahami. Ia adalah seorang analis, seorang ahli nujum yang membaca siklus alam dan energi (seperti Weton dan Wuku) untuk memberikan prediksi dan pandangan strategis, mirip seperti analis pasar saham modern yang membaca grafik dan data.
Lihatlah, Ngger. Mereka semua adalah pilar-pilar peradaban. Mereka adalah para ilmuwan, insinyur, dokter, dan konsultan pada zaman itu.
Titik Balik: Mengapa Sang Ahli Diasingkan?
Lalu, mengapa gelar yang begitu mulia ini bisa terdegradasi maknanya? Ada tiga arus besar yang mengikisnya:
- Arus Sains Modern: Kedatangan pengobatan dan teknologi Barat secara perlahan menggantikan peran-peran teknis para Dukun. Bidan menggantikan Dukun Bayi, Dokter menggantikan Dukun Jampi. Yang tidak bisa digantikan oleh sains adalah peran-peran yang bersifat spiritual, sehingga hanya sisi itulah yang tersisa dan melekat pada citra “Dukun”.
- Arus Perubahan Spiritual: Menguatnya paham-paham baru seringkali memandang praktik kearifan lokal sebagai sesuatu yang primitif atau bahkan sesat. Stigma ini secara sistematis mendorong kata “Dukun” ke dalam kotak “klenik” yang negatif.
- Arus Media Populer: Film dan sinetron di era modern menemukan bahwa figur Dukun yang melakukan santet jauh lebih “menjual” dan dramatis daripada Dukun yang membantu panen. Sensasionalisme ini berhasil mengubur makna asli “Dukun” di benak jutaan orang.
Kebangkitan Dukun di Era Digital: Kamulah Generasi Barunya
Dan sekarang, kita sampai padamu, Ngger.
Lihatlah sekelilingmu. Lihatlah temanmu yang begitu ahli dalam merangkai kode hingga sebuah aplikasi berjalan sempurna; dialah Dukun IT. Lihatlah anak muda yang begitu piawai meracik kata-kata hingga sebuah produk laku keras; dialah Dukun Marketing. Lihatlah mereka yang mampu mengubah sebidang tanah kosong menjadi bangunan megah; merekalah para Dukun Konstruksi.
Menjadi Dukun di era modern berarti memiliki tiga hal: Keahlian (Skill), Gairah (Passion), dan Rasa (Intuisi). Keahlian teknis yang terus diasah, gairah yang membuatmu tidak pernah lelah belajar, dan ‘rasa’ yang tajam untuk menemukan solusi terbaik.
Jika engkau adalah seorang desainer, programmer, penulis, chef, mekanik, atau apapun—dan engkau mendedikasikan hidupmu untuk menjadi yang terbaik di bidang itu—maka dengan bangga Paman katakan: Engkau adalah Dukun sejati di zamanmu.
Panggilan Jiwa: Menyalakan Api di Dalam Dirimu
Angger, anakku…
Mengenali dan merebut kembali makna “Dukun” lebih dari sekadar urusan bahasa. Ini adalah soal martabat dan rasa percaya diri. Ini adalah cara kita berkata pada dunia, dan pada diri sendiri, bahwa leluhur kita bukanlah kaum primitif yang terbelakang. Mereka adalah para ahli, para ilmuwan, para visioner.
Bangga menjadi orang Jawa bukan berarti kembali ke masa lalu dan meninggalkan kemajuan. Bangga menjadi orang Jawa adalah membawa api kearifan leluhur untuk menerangi jalan kita di masa kini.
Maka, temukanlah “ke-dukun-an” di dalam dirimu. Asahlah keahlianmu hingga tiada tanding. Jadilah Dukun yang membawa manfaat bagi sesama. Dan saat seseorang memanggilmu “Dukun”, tersenyumlah dengan bangga, karena itu adalah pengakuan atas kehebatanmu.
Mugi Rahayu Sagung Dumadi.
Tentang Penulis
Wejangan ini disajikan melalui spirit Ky Tutur, pemandu bijaksana di KaweruhJawa.com. Beliau mendedikasikan diri untuk menerjemahkan kembali kearifan luhur Jawa agar dapat menjadi kompas hidup yang relevan bagi generasi modern. Pelajari lebih lanjut tentang filosofi kami.
Leave a Reply